Tembang Macapat
1. MIJIL
Mijil
artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan
menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu,
sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan
membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur
enak hidup di zaman dwaparayuga,
namun harusnetepi titah Gusti untuk
lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan
tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan
kekuatan getaranmantra tanpa tinulis. Kini orang
tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku
prihatin agar sang rena (ibu)
dan si ponang (bayi)
lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang
Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
Tembang
Mijil ngemu sifal : prihatin, ngemurasa, lega
2.
MASKUMAMBANG
Setelah
lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari
suka ngudang melihat
tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi
membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan
tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan
baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang
menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang,
dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan
kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak
berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Tembang maskumambang ngemu sifat : ngeres, nelangsa.
3. KINANTI
Semula
berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang
selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang
tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar
segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi
buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan
mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus
dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan
dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
Tembang
kinanthi ngemu sifat : tresna, asih, seneng.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan
dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua
menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak
salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah.
Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan
arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan
ibu. Dasar manusia masih enom (muda)
hidupnya sering salah kaprah.
Tembang
sinom ngemu sifat : grapyak.
5.
DHANDHANGGULA
Remaja
beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba
hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua,
anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan
dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa,
yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah
berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga
belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia.
Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya
menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping
rahsa, yang ada selalu nguja
hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak
peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya
bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi
langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung
langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya
masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi
bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada.
Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua
tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum
mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya
Tembang dhandhanggula ngemu sifat : luwes, ngresepake.
6.
ASMARANDANA
Asmaradana
atau asmara dahana yakni
api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi
harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya
bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah
terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup
lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar
semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan
menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia
dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing
mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki
gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka
meniru tindak tanduk sang gurulaku,
yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka
berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat
dituju. Asmaradana adalah
saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau
polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan
menjadi seteru.
Tembang asmarandana ngemu sifat : kesemsem.
7. GAMBUH
Gambuh
atau Gampang Nambuh,
sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh
dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal
otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya
tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang,
walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya
berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana
terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak,
membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri,
mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata
ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias
belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang,
menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari
menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi.
Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah
dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang
dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang gambuh ngemu sifat : semanak, lucu, guyon.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh
dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana,
Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah
menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura
sengkara, duracara (bicara
buruk), durajaya,dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur,
dst. Tembang Durma,
diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia
yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari
menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara
manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun
merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris
dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak
mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak
peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu.
9. PANGKUR
Bila usia
telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur)
merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi
diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada
tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri
menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang
menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang
berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu
berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati
pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak
tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan
menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang
di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah
mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena
ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi
menjadi bathang..!!
Tembang pangkur ngemu sifat : nepsu kang prihatin.
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba
sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.
Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri.
Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka
dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan
yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti.
Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh
Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana,
sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama.
Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun
tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba
saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan
akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata.
Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi
penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering
merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun
tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya
demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa
dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang megatruh ngemu sifat : getun, nglangut.
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah
orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara
kehidupan mercapadha yang
panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik
kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok
hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai
lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para
leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru
setelah raganya mati.
Tak terasa
bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa
sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan
kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di
sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa
sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah
lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang.
Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang.
Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh
jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara
yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang
nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus
pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak
satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami
dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan
keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu
kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.
Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan
justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina.
Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili.
Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados
niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka
menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang
salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak
jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
Tembang pocong ngemu sifat : sadar
TEMBANG MACAPAT merupakan
salah satu kelompok tembang yang sampai saat ini masih diuri-uri (dilestarikan) oleh orang Jawa. Ada
sebelas tembang dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang
berbeda, memiliki wataknya sendiri, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus
dalam membuatnya.
Aturan khusus tersebut biasa disebut
sebagai wewaton (guru/patokan). Dalam tembang macapat
terdapat 3 guru yakniguru
gatra (banyaknya
jumlah baris dalam satu bait), guru wilangan(banyaknya
suku kata dalam setiap baris) dan guru lagu (jatuhnya suara vokal dalam setiap
baris/dhong-dhing).
Asal-usul tembang macapat sendiri
sampai saat ini masih dalam perdebatan. Masyarakat jawa tengah pada umumnya
mengetahui tembang macapat ada sejak masa-masa akhir kerajaan Majapahit dan
mulai masuknya Islam di tanah jawa. Pada jaman Walisongo tembang macapat
banyak digunakan sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam di tanah
Jawa.
Di beberapa sumber menyebutkan
bahwa macapat sudah ada sebelum kedatangan Islam, khususnya di Jawa Timur dan
Bali. Menurut pakar budaya jawa Poerbatjaraka dan Zoetmulder (Belanda), macapat
sebagai puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin.
Di Jawa Tengah, khususnya Solo
tembang-tembang macapat banyak digunakan dalam serat-serat dan kasusastran (karya sastra) jawa. Serat-serat
tersebut berisi tentang berbagai ajaran budi pekerti, dongeng, cerita wayang,
permainan, bahkan berisi doa dan mantra. Kata-kata yang banyak digunakan dalam
tembang macapat sebagian besar merupakan bahasa jawa
anyar (jawa baru)
yang disisipi dengan bahasa jawa kuna.
Banyak tafsir terhadap asal-muasal
kata macapat. Ada yang berpendapat berasal dari kata”mocone papat papat” (membacanya
empat empat), ada yang menafsirkan dari kata Maca Asipat (Membaca
sifat manusia), dan ada juga yang berpendapat Janmo Koco Asifat (cerminan sifat manusia).
Selain perbedaan tafsir dalam kata
“macapat”, perbedaan tafsir juga terdapat dalam beberapa jenis tembang yang ada
dalam macapat. Perbedaan tafsir ini secara otomatis akan berpengaruh pada
urutan tembang macapat. Misalanya tentang tembang Maskumambang, ada yang menafsirkan janin dalam
rahim, namun ada juga yang menafsirkan seorang anak setelah lahir.
Meski terdapat banyak perbedaan tafsir
macapat, namun pada aturan-aturan baku tetap sama.Guru gatra, guru wilangan dan guru lagu semua tetap menggunakan patokan yang
sama.
Tembang macapat diyakini sebagian
besar orang jawa sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup
manusia, proses dimana Tuhan memberikan ruh-Nya, hingga manusia tersebut
kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga kematiannya
digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
Adapun
sebelas tembang macapat yang kaya makna tersebut diantaranya :
- Maskumambang (Janin)
- Mijil (Terlahir)
- Sinom (Muda)
- Kinanti (Dipandu)
- Asmaradana (Api Asmara)
- Gambuh (Sepaham/cocok)
- Dhandanggula (Manisnya Kehidupan)
- Durma (Mundurnya tata krama)
- Pangkur (Menarik
diri)
- Megatruh (Sakaratul maut)
- Pucung (Kematian/dipocong)
No comments:
Post a Comment